Selasa, 31 Mei 2016

LUCKY




Akhirnya menutup lembar terakhir novel kedua yang dalam tiga hari ini menemani liburku. Sekarang pukul 22.35 WIB, pagi tadi aku seharusnya sudah menyelesaikan 5 lembar terakhir dari novel Antologi Rasa karya Ika Natassa yang aku beli dua hari sebelumnya, tapi karena panggilan mendadak dari atasan untuk ke kantor secepatnya. Akhirnya mau tidak mau menunda bacaanku. Keara si tokoh utama perempuannya sungguh karakter type-ku sekali. Wanita yang tahu apa yang dia mau dan apa yang bisa dia lakukan untuk menyenangkan hidupnya. "Kakak tidur dimana?" itu tadi adikku, Aily, Aillya Fahrain berusia 15 tahun, pemalu dan suka menghayal yang ternyata masih terjaga. Aku melangkah menuju ranjang kami, "Kakak di sebelah kiri dek." Aily menggeser tubuhnya yang lebih besar dan berat daripada aku itu, memberi ruang lebih di sampingnya. Tubuhnya kelewat bongsor untuk remaja seumurnya.

"Tidur gih, besok kamu sekolah kan?" kataku, menyuruhnya segera tidur. Melihatnya masih menatap gudgetnya dan sesekali tersenyum sendiri.

"Hemm," balasnya masih tetap menatapi handphone yang ada di genggamannya. "Kakak tahu gak, tadi sore aku lihat Kak Baron sama Dante main basket di taman belakang komplek," Aily beranjak meninggalkan handphone di meja samping tempat tidur dan bersandar di kepala ranjang tangannya terlipat di depan dada dan melanjutkan ucapannya, "aku nggak dengar semuanya sih, apa yang mereka bicarakan. Cuman dimulai dari bagian acara perpisahan Dante seminggu lagi gitu." Aku mengerut mendengar kalimatnya.

"Jadi intinya apa dek?" balasku, menarik selimut sampai perut dan menepuk-nepuknya, mencari posisi lebih nyaman.

"Gak ada, aku cuman mau ngomong itu saja." Jawabnya dengan wajah nyengirnya itu. DASAR.

"Tidur!" kataku, meraup wajah isengnya itu. Aily tertawa melihat kejengkelanku.

"Hahaha, Kakak tahu gak? Setiap kali ada nama Kak Baron disebut, wajah Kakak langsung serius dan tegang banget. Jadi asyik buat dibercandain." ungkapnya lagi. Baron atau Ananda Baron Wijaya adalah sahabatku sejak kecil, dari jaman TK yang masih suka ngompol sampai SMA kami selalu bersama, hanya sejak kuliah intensitas kami bertemu menjadi sangat jarang sekali. Sampai saat kami lulus dan bekerja, barulah Baron kembali tinggal bersama orangtuanya setelah hampir lima tahun menjadi perantau dikota lain. Sedangkan Dante adalah sepupu jauh kami, bisa dibilang sebagai patner in crame-nya Aily, adikku sejak bayi. Lucu dan pintar di seni, sudah terlihat dewasa meski baru 17 tahun, tubuhnya bongsor seperti Aily. Yang membuatku bertanya-tanya anak-anak sekarang kenapa tumbuh begitu cepat dengan tubuh mereka yang cepat sekali bertambah tinggi.

___

"Undangan dari SMA N 1?" tanyaku pada Raihan, salah satu staff yang memberikan surat undangan dari SMA Dante dan Aily juga SMA tempat Baron mengabdi. Isi didalamnya menyebutkan undangan perpisahan sekolah yang mengundang pihak kecamatan untuk menghadiri acara perpisahan anak kelas 12.

*
Melihatnya tersenyum seperti ini selalu membuatku merasa bahwa hari ini akan indah sampai esok hari saat aku melihatnya lagi. Tapi, mungkin beberapa hari lagi aku tidak akan melihatnya lagi di sekolah  kami ini. Dan aku masih harus berkutat dengan banyaknya tugas dan hal-hal menjengkelkan lainnya dalam setahun kedepan sendiri, tanpa Dante tanpa melihat senyumnya setiap hari. Rasanya dunia tiba-tiba menjadi lumbang besar yang kemudian mengecil dan membuatku seakan terjebak didalam lubang sempit tersebut. Sesak dan tidak dapat bergerak untuk meraih, meraih lengannya.

"Melamun." Tepukan di pundakku menyadarkan aku dari kebengongan dan lamunanku barusan, memerhatikan orang-orang berlalu lalang dari tempatku duduk saat ini.

"Apaan sih Kak, ngapain ke sini, ganggu." Aku tidak bermaksud lancang, apalagi dengan Guru. Tapi ini Kak Baron, jadi aku tidak harus sopan ataupun segan lagi dengannya. Calon Kakak iparku ini, jangan sampai Kak Anis mendengar panggilan ini- agaknya kurang kerjaan karena dari tadi yang dilakukannya hanya duduk, berdiri dan duduk lagi menerima jabatan tangan dari beberapa orang. Bagaimana aku tahu? Pertanyaan bagus. Padahal dari tadi aku hanya melamun dan terbengong-bengong duduk menunggu. Lagi pula siapa yang akan memerhatikan pria dewasa dengan wajah yang tidak mengecewakan untuk dibawa dan dipamerkan waktu pergi ke mall dan ke teman-temanmu di sekolah. Ingatkan aku anak SMA mengenalkan gandengan serupa Kak Baron tentu saja bukan hal memalukan. Entah apa yang Kak Anis tunggu sampai hanya berdiam diri melihat makhluk Tuhan yang mendekati sempurna ini, di biarkan menganggur. Aku? Kalian tanya bagaimana denganku? Ya, meskipun Kak Baron mendekati sempurna bagiku Dante lebih dari apapun yang bisa di tukar dengannya. Sepupu dan sahabatku itu sudah merenggut anganku tentang cinta pertama dengan kakak kelas yang tampan, populer dan pintar. Semuanya tergantikan dengan sosoknya yang menyenangkan, kadang jahil dan sangat menyukai menggambar itu.

"Anissa nggak ikut kamu ke sini dek?" pertanyaan Kak Baron barusan membawaku kembali dari dunia lain yang aku singgahi barusan. "Gak tahu Kak," balasku.

"Hai," panjang umur sekali bukan Kakakku yang cantik ini, Kak Anis yang sekarang sedang mengenakan seragam kebesarannya, mengambil tempat di samping kursi yang aku duduki.

"Hai Nis, kok telat sampainya." Kak Baron bertanya dengan senyumannya yang tampan itu. Duh, jangan tanya sikap Kakakku jadi seperti apa. Mereka berdua menjadi canggung dengan naturalnya.

"Iya nih, habis sosialisasi di dua desa barusan, repot sekarang ini waktu-waktunya dana desa dicairkan tapi karena ada beberapa desa yang terkendala SDM-nya jadi kami dari pihak kecamatan ini coba bantu." Kak Anis menjelaskan dengan helaan nafas lelah yang ditanggapi Kak Baron dengan senyum maklum, lalu menyodorkan kotak snack yang ada di depan meja pada Kak Anis.

"Kamu udah tampil dek?" Tanya Kak Anis kembali perhatiannya padaku.

"Belum Kak, bentar lagi." Jawabku. Ada waktu yang paling baik untuk pergi saat ini, meninggalkan dua sejoli ini berdua saja untuk berbincang-bincang tapi karena sebentar lagi giliranku untuk tampil membacakan puisi. Jadi kuat tidak kuat harus bertahan mendengarkan obrolan mereka tentang desa ini desa itu, sampai ke isu-isu politik dan lainnya.

___

Dante yang berlari, Dante yang shit up, Dante yang push up, Dante yang berkeringat, Dante yang ngos-ngosan sesudahnya adalah pemandangan paling menawan, yang hanya bisa aku lihat setiap jum'at sore. Kalau saja tidak ada Kak Baron yang terbaring kelelahan di sampingku, aku akan memerhatikan Dante dengan mata dipenuhi tanda cinta padanya. Melirik Kak Baron, "Kakak laki banget ya, baru juga dua kali putaran udah ngos-ngosan gitu Kak."

"Faktor U dek, maklumin dong." Ucapnya, lalu duduk membersihkan siku dan baju belakangnya yang kotor akibat berbaringnya barusan.

"Besok Dante berangkat ke Jakarta kan? Pasti kamu sedih banget sekarang." Tanya Kak Baron yang memerhatikan Dante saat ini, menghampiri teman-teman mainnya. Bertanding futsal bersama.

"Gaklah, ngapain." Jawabku meski berusaha terdengar biasa, tapi nada suaraku tidak terdengar baik. Kak Baron tersenyum menenangkan, "belajar yang rajin, tahun depan masuk di Universitas yang sama, oke." Mengucapkan hal seperti itu lalu mengusap puncak kepalaku sebelum beranjak menghampiri Dante dan yang lainnya. Seperti tahu saja apa yang aku rasakan, bisikku.